Dibatas Dusun Kasih, sosok musafir tengah berhenti sejenak menarik nafasnya dalam-dalam, sembari membungkukkan tubuhnya ke arah pohon jati, melepaskan letihnya sang tubuh yang keseharian kerja keras berjalan menyusuri jalan panjang tak bertepi.
Musafir pun terlihat duduk dibawah pohon jati sambil menikmati desau angin sepoi-sepoi basah. Tampak matanya menatap kelangit, memandangi awan berarak, nun jauh disana. Ia seakan membisikkan dan menuliskan sejumlah syair-syair cinta nan indah.
Dedaunan lambai mendayu seakan menambah keharmonisan indahnya fenomena alam yang terangkai dalam satu jiwa.
Deru debu di pepasiran menorehkan cerita pada tapak-tapak langkah yang berjalan diatas mayapada. Gemercik air dibelahan batu-batu kerikil seakan menyampaikan nyanyian merdu akan kesyahduan dan ketenangan batin.
Sepotong sajak sang musafir; merajut cinta dibatas senja, ia mencoba mengusik hati yang saat itu dalam kegalauan;
Diantara awan berawan
Diantara bintang gemintang
Diantara rembulan dan matahari
Diantara kata tanpa kalimat
Desau nafasku mendesah disetiap pijakan
Bola mataku menatap senja dalam ratapan
Gemulai kulit mulus menapaki keriputan
Dibatas Senja Cinta merajut.....
Biarlah tangis ini menjerit
Biarkan tawa menerawan
Biarkan nafsu membabi buta
Biarkan cinta melayang diatas angin laila....
(Makassar, Panrita, Sami, 14 Mei 2010)
Dialog pun muncul searah semilir angin meretas keheningan. Musafir dengan suara berbisik-bisik, mengungkapkan isi hatinya pada maya. "Duhai maya, terasa batinku menggugah keberadaanmu, kebersamaan kita, ibarat ruang dan waktu," bisik Musafir dalam kehenigan.
Pucuk daun jati yang kering, jatuh di pelataran bumi, seakan si pohon Jati menyimak dan merasakan titian kasih yang disampaikan Musafir padan Maya.
Musafir yang kala itu mencoba menyambung kata hatinya, sori aku tidak ingat lagi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar